Aburizal Bakrie sesumbar, masalah banjir telah dibesar-besarkan oleh media massa. Pernyataan Menko Kesra mungkin benar seandainya banjir datang sesekali, lalu dalam satu-dua hari surut, serta hanya menggenangi sejumput wilayah tertentu saja.
Akan tetapi, bencana banjir kali ini tergolong luar biasa dan tak terpisahkan dari serangkaian peristiwa serupa dalam 10 tahun terakhir. Banjir awal tahun ini kiranya lebih dari cukup untuk memberikan pertanda yang semakin nyata bahwa akumulasi kerusakan yang terjadi sudah mencapai titik membahayakan.
Akibat banjir tidak lagi sebatas pada kerugian yang diderita oleh warga yang tempat tinggalnya terendam air, serta lokasi usaha yang terpaksa tak beroperasi karena terisolasi oleh genangan air. Banjir telah pula merusak instalisasi listrik, air bersih, dan telekomunikasi, serta semua moda transportasi. Praktis berdampak pada seluruh kegiatan ekonomi.
Jadwal produksi yang terganggu, walau mungkin hanya sekitar 10 hari, bisa berakibat fatal karena pembeli mengalihkan pesanan untuk seterusnya, ataupun pengusaha memindahkan fasilitas usaha ke luar negeri. Cara penanganan banjir yang buruk semakin membulatkan tekad mereka untuk hengkang dari Indonesia. Sementara itu, para pekerja terpukul dua kali, karena selain rumahnya tergenang air, mereka kehilangan pendapatan.
Karena Jakarta sudah terlanjur sebagai pusat “segala-galanya”, kerugian merembet ke berbagai penjuru. Distribusi barang yang terganggu ditambah dengan banjir parah di wilayah Jakarta Utara, membuat pelabuhan Tanjung Priok hanya bisa beroperasi sekitar separuh dari biasanya sehingga lalu lintas ekspor dan impor terpukul.
Keadaan ini berpotensi membuat laju ekspor yang sudah menembus 100 miliar dollar AS tahun 2006 bisa melemah kembali. Sebaliknya, karena kerusakan sejumlah fasilitas produksi akan mengakibatkan kebutuhan di dalam negeri lebih banyak diisi oleh produk-produk impor.
Dampak terhadap makro-ekonomi juga akan terasa dari kenaikan harga-harga yang terjadi sehingga mendorong laju inflasi yang lebih tinggi.
Secara keseluruhan, bencana banjir dalam jangka pendek boleh jadi tak akan mengakibatkan kerugian yang cukup berarti besar bagi perekonomian nasional. Namun, jika tak ditangani secara seksama maka dampak jangka menengah dan jangka panjangnya akan terasa dalam bentuk kemerosotan daya saing dan iklim investasi.
Jakarta “ditegur”
Banjir menegur Jakarta yang masih saja tamak dan pongah, enggan berbagi dengan daerah-daerah lain, bahkan cenderung menyalahkan mereka. Jakarta terus saja mempercantik wajah dengan kosmetik berlebihan sehingga menjelma seperti “topeng monyet” yang semakin beringas.
Itulah sosok Jakarta yang dibangun dengan terlalu eksesif mengedepankan modal fisik. Sementara modal manusia, modal sosial, dan modal spiritualnya terus menerus tergerus.
Jakarta masih berencana membangun enam ruas jalan tol baru. Pembangunan pusat-pusat belanja berskala kecil hingga mega terus marak di seluruh wilayah, termasuk pula yang berlokasi di jantung kota. Demikian pula dengan pembangunan puluhan apartemen pencakar langit yang kian marak. Kesemuanya dibangun dengan tidak lagi mengindahkan kaidah lingkungan dan penyediaan fasos-fasum.
Sebagai Ibu Kota negara yang menyandang predikat kota modern, seharusnya Jakarta telah mengalami transformasi menjadi kota jasa modern yang mampu menciptakan kegiatan produktif yang bernilai tambah tinggi. Pemerintah kota bisa secara aktif menawarkan mekanisme insentif agar pabrik-pabrik yang bernilai tambah rendah bersedia keluar Jakarta secara sukarela.
Pembangunan kota Jakarta ke depan tak bisa lagi dengan mempertahankan Jakarta sebagai pusat gravitasi segala kegiatan ekonomi. Melainkan harus mengetengahkan paradigma baru, yakni dengan secara aktif memperluas basis kegiatan ekonomi ke luar Jakarta, mulai dari daerah di sekitarnya hingga ke daerah yang semakin jauh.
Sebagai contoh, kita bisa memulai dari sistem transportasi. Sebelum terlambat dan menjadi sia-sia, pola pembangunan jaringan transportasi perlu ditinjau ulang. Bukannya dengan mengutamakan kelancaran arus manusia masuk ke pusat kota, melainkan dengan memperlancar terbentuknya kawasan bisnis yang tersebar di pinggiran Jakarta dan di daerah sekitarnya.
Dengan demikian justru warga Jakarta memperoleh insentif untuk berpindah dari kawasan padat dan kumuh ke kawasan pemukiman baru yang dibangun secara terpadu.
Untuk itu, sudah sepatutnya dilakukan revitalisasi infrastruktur jalur kereta api yang sudah ada di sekeliling Jakarta. Di sepanjang jalur kereta api itulah akan tercipta sentra-sentra bisnis yang lebih tersebar, sehingga lebih cepat mendorong efek penularan ke daerah yang semakin jauh dari Jakarta.
Tanpa mendorong agar pembangunan di daerah-daerah lain lebih cepat, maka niscaya Jakarta tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah-masalah klasiknya seperti banjir, permukiman kumuh, pengangguran, dan sektor informal.
Menyelesaikan masalah
Apakah Jakarta mampu menyelesaikan masalahnya sendiri? Banjir bandang yang melanda Jakarta hanyalah bukti pamungkas dari serangkaian bencana yang silih berganti melanda seantero negeri yang ditimbulkan oleh sejumlah penyebab yang serupa. Alam semakin murka karena tak kunjung diperlakukan secara patut.
Bukankah bencana alam lebih disebabkan oleh kerusakan-kerusakan yang dibuat oleh manusia? Korupsi yang masih saja merajalela merupakan salah satu faktor penyebab terpenting
Revisi UU Tata Ruang Nasional tidak kunjung dituntaskan oleh elite politik. Sejumlah rencana pembenahan atas perusakan alam memang ada, tetapi tumpang tindih satu sama lain.
Dalam hal penanganan bencana pun belum menunjukkan perbaikan. Tak kurang Menteri Kesehatan sendiri mengakui, penanganan banjir di Jakarta dan sekitarnya tak lebih baik daripada penanganan bencana mulai dari tsunami di Aceh dan Nias hingga ke gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah (Kompas, 10 Februari 2007, halaman 25).
Ada yang beranggapan, otonomi daerahlah yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan. Mungkin itu ada benarnya, tapi, teramat banyak yang masih bisa dilakukan, sekaligus bisa dikoreksi oleh pemerintah pusat dan politisi di Jakarta. Karena merekalah yang paling bertanggung jawab menetapkan UU, kerangka rencana makro dan jangka panjang, serta koordinasi lintas sektoral dan lintas daerah.
Lepas dari itu semua, apresiasi patut diberikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sigap mengambil inisiatif untuk menangani dan mengambil langkah nyata. Semoga langkah awal ini selanjutnya mampu menembus akar-akar masalah yang membawa perbaikan mendasar bagi kehidupan bangsa.
Faisal Basri
Keterangan Artikel
Keterangan Artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar