Powered By Blogger

Sabtu, 31 Maret 2012

HUKUM PERJANJIAN - syarat sahnya perjanjian


Syarat Sahnya Perjanjian
Seperti yang dijelaskan pada seri sebelumnya bahwa setiap orang/badan hukum bebas melakukan perjanjian dengan siapapun tentang hal apapun (asas kebebasan berkontrak) dan perjanjian yang dibuat tersebut akan mengikat mereka yang membuatnya (asas kepastian hukum). Walaupun demikian, sebebas apapun mereka membuat perjanjian tentunya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat tersebut sah di mata hukum.  Adapun syarat-syarat tersebut seperti yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320, adalah: (1) Ada kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; (3) Mengenai suatu hal tertentu; dan (4) Suatu sebab yang halal/legal.
Kedua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif  dimana apabila dilanggar maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (dimintakan pembatalannya kepada hakim melalui pengadilan). Sedangkan kedua syarat terakhir disebut dengan syarat objektif dimana apabila dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi hukum (batal dengan sendirinya).
Kesepakatan.  Kesepakatan merupakan suatu proses dalam rangka mendapatkan titik temu dari dua kepentingan yang berlawanan.  Proses ini umumnya diawali dengan pemberitahuan tentang maksud oleh satu pihak  kepada pihak yang lainnya (intent), kemudian pihak lainnya akan membalas dengan mengajukan  penawaran (offer).  Apabila penawaran tersebut disetujui maka pihak yang ditujuh penwaran tersebut akan menerimanya (acceptance).  Proses kesepakatan ini harus dilakukan secara bebas tanpa adanya kekhilafan atau paksaan, ataupun  penipuan (Lihat KUHPerdata Pasal 1321).  Apabila sebaliknya terjadi dimana suatu kesepakatan diberikan secara tidak bebas maka kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjiannya  menjadi dapat dibatalkan (tidak terpenuhi syarat subjektif).
Kecakapan.  Sehubungan dengan syarat kecakapan ini, undang-undang  (KUHPerdata Pasal 1329) beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali ia oleh undang-undang  dinyatakan tidak cakap (general legal presumption) .  Mengenai ketidakcakapan ini KUHPerdata Pasal 1330 menyatakan bahwa orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah “orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,  perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang-orang yang telah dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu“. Selanjutnya sesuai KUHPerdata Pasal 330, yang dimaksudkan dengan orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Berdasarkan pengertian ini maka apabila seorang yang belum berusia 21 tahun menikah maka ia dinyatakan telah dewasa, begitu juga apabila ia bercerai pada usia belum genap 21 tahun maka ia tetap dinyatakan telah dewasa. Sedangkan yang masuk dalam golongan orang-orang ditempatkan dalam pengampuan sesuai KUHPerdata Pasal 433  adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosannya. Mengenai ketidakcakapan perempuan yang telah kawin dapat dilihat pada KUHPerdata Pasal 108 yang berbunyi ” Sang istri, sekalipun dia kawin di luar harta bersama, atau dengan harta benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan, menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis. Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada istrinya untuk membuat akta atau perjanjian tertentu, si istri tidaklah berwenang untuk menerima pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari suami” dan Pasal 110 yang berbunyi “Istri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas”. Akan tetapi berdasar Surat Edaran MA No. 3 tahun 1961 kedua pasal tersebut tidak berlaku lagi. Dengan demikian maka perempuan yang telah kawin tidak lagi masuk dalam kategori orang yang tidak cakap dalam membuat Perjanjian.
Suatu hal tertentu. Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu di sini adalah merupakan objek dari suatu perjanjian atau yang  disebut juga dengan prestasi.  Menurut KUHPerdata Pasal 1332, hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek perjanjian.  SelanjutnyaKUHPerdata Pasal 1333 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai objek  berupa  suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Jumlah barang tersebut tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Selain itu, terkait dengan barang yang menjadi objek perjanjian ini, KUHPerdata Pasal 1334 menyatakan bahwa barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu Perjanjian. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk metepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang menjadi objek perjanjian itu.
Sebab yang halal. Penjabaran mengenai sebab yang halal dapat dijumpai dalam KUHPerdata Pasal 1337 yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah tidak halal,  jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar