Judul : KENAPA KOPERASI DI NEGARA-NEGARA KAPITALIS/SEMI-KAPITALIS LEBIH MAJU?
Oleh : Tulus Tahi Hamonangan Tambunan
1. Latar Belakang Permasalahan
Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan (atau ada yang bilang dimasa revolusi industri di-Inggris) yang diprakarsai oleh seorang industrialis yang sosialis yang bernama Robert Own. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri. Berdirinya koperasi buruh tersebut berfungsi membeli barang kebutuhan pokok secara bersama-sama dan memang ternyata bahwa harga di toko koperasi lebih murah jika dibandingkan dengan toko-toko yang bukan koperasi. Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20. Sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.
Di Indonesia, setelah lebih dari 50 tahun keberadaannya, lembaga yang namanya koperasi yang diharapkan menjadi pilar atau soko guru perekonomian nasional dan juga lembaga gerakan ekonomi rakyat ternyata tidak berkembang baik seperti di negara-negara maju Oleh karena itu tidak heran kenapa peran koperasi di dalam perekonomian Indonesia masih sering dipertanyakan dan selalu menjadi bahan perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya.
Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka pertanyaan utama dari makalah ini adalah kenapa koperasi-koperasi di negara maju, yang sering dikatakan sebagai ekonomi-ekonomi yang kapitalis yang tidak cocok bagi pengembangan koperasi, bisa maju, sedangkan di Indonesia dimana keberadaan koperasi dikaitkan dengan idologi Pancasila malahan tidak berkembang baik? Jadi, yang dibahas di makalah ini adalah factor-faktor yang membuat koperasi di Negara maju bisa berkembang dengan baik.
2. Perkembangan Koperasi di dalam Ekonomi Kapitalis dan Semi Kapitalis
2.1 Fakta
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju dan negara sedang berkembang memang sangat diametral. Di negara maju koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di negara sedang berkembang koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara sedang berkiembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan (Soetrisno, 2001). Dalam kasus Indonesia, hal ini ditegaskan di dalam Undang-undang (UU) Dasar 1945 Pasal 33 mengenai sistem perekonomian nasional. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dan juga dibentuk departemen atau kementerian khusus yakni Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan maksud mendukung perkembangan koperasi di dalam negeri.
2.1.1 Di Tingkat Dunia
Menurut data dari laporan tahunan 2006 dari International Co-operative Alliance (ICA, 2006), di dunia ada sekitar 800 juta orang yang menjadi anggota koperasi. Diperkirakan koperasi-koperasi di dunia secara total mengerjakan lebih dari 100 juta orang, dan memberi jaminan kehidupan bagi sekitar 3 miliar orang. Sekitar 20% lebih dari jumlah koperasi yang ada diciptakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Sebanyak 300 koperasi terbesar di dunia (Global 300) berdasarkan nilai omset memiliki nilai aset sekitar 30-40 triliun dollar AS dan omset tahunan 963 miliar dollar AS. Dengan nilai ini, 300 koperasi tersebut sebagai satu kelompok menjadi ekonomi terkuat no 10 di dunia untuk periode 2004, setelah Kanada, Spanyol, Italia, dan China, masing-masing pada posisi ke 9, 8,7,dan 6. Pada posisi teratas adalah AS, disusul oleh Jepang, Jerman, Perancis dan Inggris. Menurut sektor, sebagian besar dari 300 koperasi terbesar itu adalah koperasi-koperasi industri makanan dan pertanian, yakni sekitar 32,6%, disusul oleh ritel (24,7%), dan keuangan/asuransi (21.8%). Yang sangat menarik dari laporan ini adalah bahwa sebagian besar dari 300 koperasi terbesar itu berasal dari negara maju, terutama Amerika Utara, UE dan Jepang
2.1.2 Eropa
Di Eropa koperasi tumbuh terutama melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Di perdagangan ritel, koperasi-koperasi konsumsi merupakan pionir dari penciptaan rantai perdagangan ritel modern (Furlough dan Strikwerda, 1999). Di sektor perbankan di negara-negara seperti Perancis, Austria, Finlandia dan Siprus, menurut data ICA (1998a), pangsa pasar dari bank-bank koperasi mencapai sekitar 1/3 dari total bank yang ada. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis dan RABO-Bank di Netherlands. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah anggota potensial dari koperasi kredit (Soetrisno, 2001). Suatu studi dari Eurostat (2001) di tujuh negara Eropa menunjukkan bahwa pangsa dari koperasi-koperasi dalam menciptaan kesempatan kerja mencapai sekitar 1 persen di Perancis dan Portugal hingga 3,5 persen di Swiss.
Di negara-negara Eropa Timur, koperasi juga sangat maju. Misalnya, di Hongaria, koperasi-koperasi konsumen bertanggung jawab terhadap 14,4% dari makanan nasional dan penjualan-penjualan eceran umum pada tahun 2004. Di Polandia, koperasi-koperasi susu bertanggung jawab untuk 75% dari produksi susu di dalam negeri. Di Slovenia, koperasi-koperasi pertanian bertanggung jawab untuk 72% dari produksi susu, 79% dari sapi, 45% dari gandum, dan 77% dari produksi kentang. Di Slovakia, terdapat lebih dari 700 koperasi yang mengerjakan hampir 75 ribu orang.
2.1.3 Amerika Utara
Sementara itu, di AS 1 dari 4 orang (atau sekitar 25% dari jumlah pendudu) adalah anggota koperasi. Lebih dari 30 koperasi punya penghasilan tahunan lebih dari 1 miliar dollar AS. Salah satu koperasi yang sangat besar adalah koperasi kredit (credit union) yang jumlah anggotanya mencapai sekitar 80 juta orang dengan rata-rata jumlah simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji karyawan. Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika Serikat (seperti juga di Kanada) sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai “bank rakyat”, yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya pula (Mulyo, 2004). Selain di sektor kredit, koperasi di AS juga kuat di sektor-sektor lainnya termasuk, industri, pertanian dan enerji. Sekitar 90% lebih distribusi listrik desa di AS dikuasai oleh koperasi.
Pada tahun 2002 jumlah koperasi di negara adi daya ini tercatat mencapai 48 ribu unit di hampir semua jalur bisnis, memberikan pelayanan kepada 120 juta anggota, atau sekitar 4 dari setiap 10 penduduk di negara tersebut. 100 koperasi terbesar di AS, diperingkat menurut omset, secara individu menciptakan paling sedikit 346 juta dollar AS dan dalam total mencapai 119 miliar dollar AS pada tahun tersebut (Zeuli dan Cropp, 2002)
2.1.4 Asia
Di Jepang, 1 dari setiap 3 keluarga adalah anggota koperasi. Koperasi menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Koperasi-koperasi pertanian menghasilkan output sekitar 90 miliar dollar AS dengan 91% dari jumlah petani di negara tersebut sebagai anggota. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai “bank rakyat” karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan. Bahkan salah satu bank besar di Jepang adalah koperasi, yakni bank Nurinchukin bank (Rahardjo, 2002).
Di negara-negara Asia lainnya dengan tingkat pembangunan ekonominya yang sudah relatif tinggi seperti Singapura dan Korea Selatan, peran koperasi juga sangat besar. Di Singapura 50% dari jumlah populasinya adalah anggota koperasi. Koperasi-koperasi konsumennya memegang 55% dari pasar dalam pembelian-pembelian supermarket dan mempunyai suatu penghasilan sebesar 700 juta dollar AS. Di Korea Selatan, koperasi-koperasi pertanian punya anggota lebih dari 2 juta petani (90% dari jumlah petani), dan menghasilkan output sebanyak 11 miliar dollar AS. Koperasi-koperasi di subsektor perikanan memiliki pangsa 71%.
Koperasi konsumen di Singapura, seperti juga di misalnya Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa negara tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya (Mulyo, 2004).
2.2 Faktor-faktor Keberhasilan: Pembelajaran Bagi Koperasi Indonesia
Hebatnya perkembangan dari koperasi-koperasi di negara-negara maju tersebut memberi kesan bahwa koperasi tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis. Sebaliknya, koperasi-koperasi tersebut tidak hanya mampu selama ini bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi, tetapi mereka juga menyumbang terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara kapitalis tersebut. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa koperasi lahir pertama kali di Eropa yang juga merupakan tempat lahirnya sistem ekonomi kapitalis.
Peterson (2005), mengatakan bahwa koperasi harus memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dibandingkan organisasi-organisasi bisnis lainnya untuk bisa menang dalam persaingan di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini. Keunggulan kompetitif disini didefinisikan sebagai suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di posisi terdepan dibandingkan pesaing-pesaingnya. Loyd (2001) menegaskan bahwa koperasi-koperasi perlu memahami apa yang bisa membuat mereka menjadi unggul di pasar yang mengalami perubahan yang semakin cepat akibat banyak faktor multi termasuk kemajuan teknologi, peningkatan pendapatan masyarakat yang membuat perubahan selera pembeli, penemuan-penemuan material baru yang bisa menghasilkan output lebih murah, ringan, baik kualitasnya, tahan lama, dsb.nya, dan makin banyaknya pesaing-pesaing baru dalam skala yang lebih besar. Sedangkan menurut Pitman (2005) dari hasil penelitiannya terhadap kinerja berbagai macam koperasi di Wisconsin (AS), selain faktor-faktor di atas, koperasi yang berhasil adalah koperasi yang melakukan hal-hal berikut ini: (1) memakai komite-komite, penasehat-penasehat dan ahli-ahli dari luas secara efektif; (2) selalu memberikan informasi yang lengkap dan up to date kepada anggota-anggotanya sehingga mereka tetap terlibat dan suportif; (3) melakukan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan bisnis dengan memakai agenda yang teratur, prosedur-prosedur parlemen, dan pengambil keputusan yang demokrasi.Keeling (2005) meneliti mengapa dalam beberapa tahun belakangan ini banyak koperasi-koperasi besar di California termasuk dua yang terkenal Tri-Valley Growers (TVG) dan the Rice Growers Association (RGA) telah tutup, sedangkan banyak lainnya sedang mengalami kesulitan-kesulitan keuangan. Perkembangan-perkembangan tersebut memberi kesan bahwa koperasi-koperasi di California mungkin semakin mengalami kesulitan untuk bersaing dalam iklim bisnis pertanian saat ini dengan persaingan yang semakin ketat dari produk-produk luar negeri termasuk dari China.
3. Potret Singkat Kinerja Koperasi di Indonesia
Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 71,50%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Tahun 2006 tercatat ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit.
Daftar Pustaka
Affandi, Yoga (2002), “The Optimal Monetary Policy Instruments: The Case Of Indonesia”,Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 5(3).
Aldrich, Howard dan Robert N. Stern (1984), “Resource Mobilization and the Creation of US Producer Cooperatives”, Economic and Industrial Democracy, 4:371-406
Amy M. Nagler, Dale J. Menkhaus dan Alan C. Schroeder (2004), “Institutions and Agricultural Cooperatives in Wyoming”, UWCC Staff Paper No.4, August, University of Wisconsin Center for Cooperatives
Anderson, Bruce L. dan Brian M. Henehan (2003)” What Gives Cooperatives A Bad Name,”makalah dalam the NCR 194 Meeting, Oktober, Kansas City, Missouri
Anderson, Kym, Betina Dimaranan, Tom Hertel dan Will Martin (1997), “Economic Growth and Policy Reform in the APEC Region: Trade and Welfare Implications by 2005”, Asia Pacific Economic Review, 3(1).
APEC (1997), “The Impact of Trade Liberalization in APEC”, Economic Committee of APEC, Singapore: APEC Secretary
APEC (1999), “ The Impact of Trade Liberalization on Labor Markets in the Asia Pacific Region”, Report by the Network for Economic Development Management, Human Resource Development Working Group, Singapore: APEC Secretary.
Baarda, J.R. (1982), “State Incorporation Statutes for Farmer Cooperatives”, Info. Report 30, USDA-Agricultural Cooperative Service, Washington, D.C.
Baldwin, Robert E. dan P. Martin (1999), “Two Waves of Globalization: Superficial Similarities, Fundamental Differences”, NBER Working Paper NO.W6904, NBER, Cambridge Mass.
Bank Dunia (2000a), Development Indicators 2000, Washington, D.C.
Bank Dunia (2000b), Global Economic Prospects and the Developing Countries 2000, Washington, D.C.
Bank Dunia (2003), Development Indicators 2003, Washington, D.C.
Barr, Terry N. (2005), “Trends in Global Market and Implications for Farm Policy and Cooperatives”, makalah dalam the 8th Annual Farmer Cooperatives Conference, November 7-8, USA
Berger, Peter L. (1997), “Four Faces of Global Culture”, National Interest, 49.
Berger, Peter L. dan Samuel P. Huntingdon (ed.)(2002), Many Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World, Oxford: Oxford University Press.
Birchall, Johnston (1997), The International Co-operative Movement, Manchester: Manchester University Press.
Boediono (1998),. “Penggunaan Suku Bunga Sebagai sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli.
Bonin, John P., Derek C. Jones dan Louis Putterman (1993), “Theoretical and Empirical Studies of Producer Cooperatives: Will Ever the Twain Meet?”, Journal of Economic Literature, 31: 1290-1320
Bora, Bijit, Lucian Cernat, dan Alessandro Turrini (2002), “Duty and Quota-Free Access for LDCs: Further Evidence from CGE Modelling”, Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.14, New York dan Geneva: UNCTAD
Braverman, Avishay, J. Luis Guasch, Monika Huppi, dan Lorenz Pohlmeier (1991), ”Promoting Rural Coperatives in Developing Countries. The Case of Sub-Saharan Africa”, World Bank Discussion Papars, No.121, April, Washington, D.C.: The World Bank.
Cable, Vincent (1999), “Globalization and Global Governance”, Chatham House Papers, London: Royal Institute of International Affairs.
Chamard, John dan Tom Webb (2004), “Learning to Manage the Co-operative Difference”, makalah dalam the 12th IAFEP conference, Halifax, Nova Scotia, Juli 8-10.
Chowdhury, Anis, dan Hermanto Siregar (2004), “Indonesia’s Monetary Policy Dilemma–Constraints Of Inflation Targeting”, The Journal Of Developing Areas, 37(2).
Conry, E.J., G.R. Ferrera dan K.H. Fox (1986), The Legal Environment of Business, Dubuque, IA: Wm. C. Brown.
Crook, Clive (2001), “Globalization and its Critics”, The Economist, 29, September.
Cummins, David E. (1993), “Corn Belt Grain Cooperatives Adjust to Challenges of 1980s, Poised for 1990s,” ACS Research Report Number 117. August, Washington, D.C.:United States Department of Agriculture, Agricultural Cooperative Service.
Eurostat (2001), “A Pilot Study on Co-operatives, Mutuals, Associations and Foundations”, Luxembourg: Eurostat.
Feridhanusetyawan, Tubagus (1997), “Trade Liberalization in Asia Pacific: A Global CGE Approach”,The Indonesian Quarterly, XXV(4).
Feridhanusetyawan Tubagus dan Mari Pangestu (2003), “Indonesian Trade Liberalization: Estimating The Gains”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(1).
Feridhanusetyawan, Tubagus, Mari Pangestu, dan Erwidodo (2002), “Effects of AFTA and APEC Trade Policy Reform on Indonesia Agriculture”, dalam Randy Stringer, Erwidodo, Tubagus Feridhanusetyawan, dan Kym Anderson (ed.), Indonesia in a Reforming World Economy: Effects on Agriculture, Trade and the Environment,
Nama Kelompok :